Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) kembali menggelar Webinar untuk yang ketiga kalinya beetajuk “Nasionalisme dan Film” pada Jum’at (16/09). Acara yang dimoderatori wartawan senior, Rita Sri Hastuti menghadirkan pembicara Zinggara Hidayat (penulis buku Jejak Usmar Ismail), Denny Siregar (Produser Eksekutif), dan Edi Suwardi Ketua Tim Pokja Alif Direktorat Perfilman Musik dan Media (PMM) Kemendikbud Ristek RI.
“Di zaman dulu, kata nasionalisme dianggap berat dan sulit diterjemahkan dalam cerita dan gambar. Ada kesan, kata itu akan memunculkan karya serius, cenderung kaku dan tidak bakalan laku untuk dinikmati penonton,” ujar Edi Suwardi suwardidalam sambutannya.
Sebagai sebuah seni, lanjut Edi, kita tahu film tidak hanya digunakan sebagai tontonan. “Fungsi dan esensi film telah berkembang menjadi media seni yang mampu mentransformasi nilai-nilai kemanusiaan, religi, pendidikan, hingga tentang nasionalisme yang bisa menjadi tuntunan, sekaligus menjadi tontonan yang laku untuk dinikmati penonton” paparnya.
“Tema nasionalisme bisa mencair dalam cerita yang memuat pesan baik, seperti rela berkorban, menjunjung tinggi persatuan, mau saling bekerja sama, mau saling menghormati dan menghargai perbedaan, sekaligus selalu bangga menjadi warga negara Indonesia,” ungkap Edi.
Sementara itu Zinggara Hidayat, penulis buku Jejak Usmar Ismail menyebut, nasionalisme dalam film memang tidak diartikan kaku hanya memperlihatkan perlawanan terhadap kolonial, munculnya uniform (seragam) dan bendera.
Zaman berubah, dan ada pula pergeseran pengertian nasionalisme.
“Lebih jauh nasionalisme itu bisa terlihat dari termuatnya dimesi kutural dengan cara yang soft. Karena itu perlu penulis skenario yang cerdas. Idenya harus luar biasa. Dan di dalamnya ada improvisasi!” kata Zinggara.
Ia mencontohkan nasionalisme jaman dulu di dalam film “Tiga Dara” karya Usmar Ismail dengan naskah ditulis M. Alwi Dahlan, misalnya.
“Di sana diperlihatkan gaya dansa-dansi, beragam warna musik, fashion dari kebaya hingga baju modern, makanan cemilan, bahkan juga motor skuter yang dipakai oleh pemain. Dimensi kulturalnya masuk semua!’
Sementara itu menampilkan nasionalisme di jaman kini bisa dimunculkan dalam berbagai hal. Selain soal budaya, fashion, jenis makanan tertentu, bisa pula memperlihatkan daerah tertentu dengan lebih detail.
“Misalnya jika lokasi syuting di Papua, bisa diperlihatkan bagaimana kondisi kantor Pemrov Papua seperti apa!”ungkap Zinggar.
Nasionalisme masih kata Ziggar, bisa berubah format dan berganti wajah, tetapi di era globalisasi seperti sekarang ini nasioalisme lebih berkembang ke arah kolaborasi, “bahwa kita sadar hidup sejajar dalam masyarakat global!”
“Apa yang bisa kita produksi di Indonesia, film misalnya. Bisa dikirim ke luar negeri atau ke negeri serumpun. Dengan menggunakan bahasa Melayu maupun bahasa Indoesia. Ini sebetulnya juga bagian dari nasionalisme tersebut!”
Lebih jauh Zinggara mengigatkan, penting untuk melihat dan belajar dari apa yang dilakukan Korea dengan industri keseniannya.
“Kita kenal Kimci dari drama mereka, kita mendengar dan musik mereka. Di jaman globalisasi seperti sekarang ini kolaborasi adalah keniscayaan yang tidak mungkin dihindari.”
Ketua Panitia FFWI, Wina Armada di ujung pertemuan menyebut, “Sayap-Sayap Patah” telah mematahkan mitos, bahwa film yang bersifat nasionalis dan berkaitan dengan kebangsaan, mampu laku untuk diserbu penonton.
“Dari sisi finasial, kalau dihitung ada 2 juta yang menonton Sayap-Sayap Patah, berarti produser minimal mengantongi Rp 40 M. Kita gembira, film yang mengadung nasionalisme, juga bisa menghasilkan angka yang menjanjikan!,” terang Wina.
Di ‘Sayap-Sayap Patah, menurut Denny Siregar selaku Produser Eksekutif, tidak membuat film nasionalisme. Dirinya hanya ingin membuat film yang mengangkat kisah orang yang telah berjasa untuk negara. Ada orang-orang yang sebetulnya sangat layak untuk kita hargai.
“Dan pikiran kami kemudian terpusat pada peristiwa Mako Brimob!” kata Denny Siregar yang berharap tragedi tersebut tetap diingat sebagai sejarah.
Ia juga menambahkan “Sayap-Sayap Patah“ adalah film drama yang sangat entertaint, tapi tidak meninggalkan sisi cinta pada negara. “Ada kisah polisi yang kalah, bahkan ada korban di Mako Brimob!,” pungkas Denny.