Mujtahid Hashem (Direktur Voice of Palestine), Pemerintah Harus Merubah Posisi Politik Luar Negerinya Untuk Mengembalikan Hak – Hak Palestine

Mujtahid Hashem (Direktur Voice of Palestine) saat menerima kenang – kenangan sebagai pembicara dalam diskusi publik Hari Internasional Al Quds. (Foto:Fah)

Pengurus Himpunan Besar Mahasiswa Islam mengeluarkan pernyataan sikap mengenai perkembangan masalah Palestina, di hari Internasional Al-Quds. Dalam diskusi publik yang diselenggarakan di kantor PB HMI pada Jum’at (8/6), pernyataan sikap PB HMI oleh Mujtahid Hashem, Direktur Voice of  Palestine (VOP) dinilai sangat berbobot merespon masalah nasional dan internasional. Berikut wawancara Fahruddin dari libertymagz.com dengan Mujtahid Hashem mengenai konten pernyataan sikap PB HMI dan masalah Palestina lainnya.

 

Bagaimana tanggapan Anda tentang pernyataan sikap PB HMI merespon perkembangan Palestina ?

Saya sekilas mengapresiasi pernyataan sikap PB HMI yang menegaskan jati dirinya sebenarnya tentang masalah Palestina. Karena cukup lama HMI tidak terdengar sikapnya ditengah gemuruh perang khususnya di Palestina dan ekses konflik di kawasan Timur Tengah. Hemat kami, pernyataan sikap ini bisa menjadi landasan dan platform HMI ke depan dalam menyikapi masalah penjajahan Israel di Palestina. Secara garis besar pernyataan ini mengelaborasi hak-hak Palestina yang diabaikan dunia, kemudian HMI menunjukkan sikapnya tentang Palestina dan relasinya dengan masalah nasional dan internasional.

Mujtahid Hashem – Founder VOP saat diskusi Hari Internasional Al Quds. (foto:Fah)

Dalam diskusi sekilas Anda menyebut tentang opini media sebagai bagian perang propaganda, bisa Anda elaborasi lebih jauh?

Kami melihat ada cara pandang berbeda ketika media menarasikan isu Palestina. Titik pangkalnya berangkat dari eksistensi Israel di Palestina. Sebagian besar media mainstream, redaksinya larut dalam narasi media Barat dalam memberitakan Palestina. Misalnya, tentang eksistensi Israel, media kita bergeming dengan narasi eksistensi Israel sah dan legal meski tidak pernah dinyatakan tapi muncul dari logika dan Bahasa yang dipakai. Misalnya, muncul istilah konflik Palestina-Israel di media, dimana Israel dan Palestina posisinya sejajar, punya hak yang sama. Dari posisi inilah ketika media mainstream kita memberitakan perang di Palestina, selalu dibumbuhi kata-kata “Israel membalas atau membela diri”, sebuah posisi pembelaan terhadap Israel. Sedangkan perpektif rakyat Palestina, dan kita sebagian besar aktivis Palestina melihat Israel itu agresor dan penjajah dan bangsa Palestina adalah korban penindasan. Dari posisi ini para aktivis mempunyai narasi sendiri berdasar fakta sejarah yang ada. Meski Israel didukung oleh media-media maintream, namun saya lihat fakta yang terjadi di Palestina hampir tak bisa ditutupi. Besarnya dukungan masyarakat sipil di Amerika juga Eropa yang makin membesar terhadap Palestina menjadi bukti bahwa media maintream tak kuasa mengendalikan publik dunia, upaya mass deception gagal dan pasti akan gagal.

Mujtahid Hashem – Founder VOP dan Valiollah Muhammadi Nasrabadi – Dubes Iran. (Foto:Fah)

Kembali pada pernyataan sikap PB HMI, tentang hak-hak Bangsa Palestina yang diabaikan. Kenapa hak-hak itu seakan hanya ramai menjadi pembahasan para aktivis Palestina saja. Apakah para pengambil kebijakan baik nasional dan internasional tidak tahu masalah ini?

Anda benar, bicara hak-hak bangsa Palestina dalam artian mengembalikan hak secara total hanya ramai dibincangkan oleh para aktivis. Bukan karena mereka pemegang policy maker ini tak memahami, masalah ini menyangkut posisi politik dan kekuatan yang sebenarnya di setiap negara. Jika bicara hak-hak Palestina secara penuh, maka pemerintah harus merubah posisi politik luar negerinya, inilah yang tak berani mereka lakukan. Kami melihat meski sebagian besar negara-negara Asia, Afrika atau Amerika Latin telah merdeka dari kolonialis Barat, namun proses politik dan ekonomi internasional secara umum masih dikendalikan, termasuk Indonesia. Palestina ini bisa menjadi batu ujian dan parameter sejauah mana sebuah negara itu independen. Hampir semua pemerintah di dunia ini bicara membela Palestina, tapi kita bisa pertanyakan sejauhmana pembelaan Palestina. Saya setuju dengan pernyataan PB HMI yang meminta pemerintah untuk meninggalkan kebijakan ‘two state solution’, karena ini dijadikan sekedar isu pembelaan, hanya berhenti pada isu pembelaan Palestina. Kebijakan ini juga bagian dari mass deception seolah-olah negara perjuangkan Palestina. Inilah model buying time untuk memberikan kesempatan Israel terus luaskan wilayah pendudukan. Karena jika serius, masalah bisa selesai dari dulu, karena proposal ini diajukan sendiri oleh sponsor utama Israel dan juga PBB. Namun sampai saat ini tak berjalan. Sebuah proposal yang seakan-akan dianggap serius., Saya melihat proposal ini bentuk pembohongan publik dunia. Selain tak rasional, tidak adil bagi Palestina, proposal ini telah menjadi bangkai dengan pengakuan Jerusalem Timur sebagai Ibu Kota Israel oleh Amerika.

Diskusi Hari Internasional Al Quds .(Foto:Fah)

Apa pandangan Anda menyangkut konflik Timur Tengah dan Palestina?

Apa yang terjadi di Syiria, Yaman, Irak, Lebanon tak bisa dipisahkan dengan Palestina. Posisi politik negara kawasan terhadap Israel dijadikan bargain politik Barat dalam menyikapi negara-negara di kawasan. Ambil contoh Syria. Syiria yang terlibat konflik dan perang langsung dengan Israel dan posisi geografisnya bertetangga dengan Israel atau Palestina pendudukan. Wilayah dataran Golan, wilayah Syria dianeksasi Israel pada perang 1967 dan sampai ini Syria terlibat langsung perang dengan Israel meski dalam skala kecil. Tapi apa yang terjadi selama tujuh tahun terakhir, banyak analis yang meyakini fenomena ISIS dan kelompok teroris sejenisnya di drive oleh kepentingan Barat untuk menumbangkan pemerintah Syiria saat ini dengan harapan pemerintah pasca teror ini bisa dikendalikan oleh Barat. Begitu juga dengan Yaman, Irak dan Lebanon, Barat berharap terjadi shifting pemerintahan yang tidak menjadi ancaman keberlangsungan Israel. Amerika dan Israel tidak mau kecolongan lagi dengan fenomena Revolusi Islam Iran yang menghasilkan negara yang Kuat komitmennya untuk membebaskan Palestina dari Rezim Israel. Palestina tak bisa berharap pada rezi-rezim Arab teluk yang lama menjadi proxy Barat di kawasan untuk membebaskan deritanya dari penjajahn Israel. Proposal Saudi untuk membentuk Blok Arab dan Barat dalam rangka menghadapi Iran mengafirmasi mereka yang masih ragu bahwa negara-negara Arab teluk bagian proxy tak langsung Israel dan sekutunya dengan mengalihkan musuh dari Israel ke Iran.

BACA JUGA:  Menanti Kemunculan Poros Ketiga
iskusi Hari Internasional Al Quds. (Foto:Fah)

Beralih ke masalah politik bebas aktif kita republik Indonesia. Anda sependapat bahwa dukungan terhadap Palestina adalah national constitusional duty, karena amanah UUD 1945. Bagimana menurut Anda isu pejabat negara yang menjalin hubungan dengan Israel ? 

Jika mendukung kemerdekaan Palestina itu sudah menjadi komitmen negara, jelas kedatangan pejabat negara ke Israel punya konsekuensi politik serius, meskipun dengan paspor hijau (paspor warga negara biasa). Saya sependapat bahwa segala upaya untuk menjalin hubungan diplomatik, ekonomi atau budaya dengan Rezim Israel adalah pengkhiatan terhadap kontitusi kita. Bahkan menurut saya kasus ditolaknya visa turis Indonesia ke Israel tidak perlu disesalkan pejabat pemerintah, karena hubungan pariwisata dan budaya juga akan memperkuat posisi sosial dan politik Israel. Justru pemerintah mestinya menghimbau rakyat Indonesia untuk tidak berkunjung ke wilayah pendudukan dengan izin visa Israel. Karena tunduk pada aturan Israel adalah pengakuan secara politik eksistensi rezim Israel. Saya pribadi menyarankan umat Islam tidak usah ziarah ke Al-Aqsa dan umat Kristiani tak berkunjung ke Church of the Holy Sepulchre sampai kita tidak membutuhkan visa Israel. Apalagi bagi umat Islam, banyak ulama yang memfatwakan haram datang ke Palestina dengan izin visa Israel. Saran saya jika ingin ke Palestina, ke wilayah Gaza dimana peziarah hanya membutuhkan izin pemerintah Mesir. Di Gaza ada juga Great Omari Mosque dan Church of Saint Porphyrius yang cukup tua.

Mujtahid Hashem – Founder VOP saat diskusi Hari Internasional Al Quds. (Foto:Fah)

Solusi apa yang Anda tawarkan tentang penyelesaian masalah Palestina ?

Saya setuju dengan referendum untuk rakyat Palestina apapun etnik dan agama mereka tuk memilih masa depannya sendiri. Orang Palestina lebih cerdas untuk menentukan masa depannya, mereka lebih cerdas dibanding Trump dan Netanyahu. Dan saya yakin pada akhirnya akan terjadi referendum meski perang harus dilalui sampai Israel menyerah, seperti pengalaman perang Lebanon kurang lebih 20 tahun tuk mengusir Israel dan berhasil. Orang bisa saja menuduh saya radikal, namun sejarah membuktikan Israel hanya memahami bahasa perang untuk memperluas wilayah. Sebenarnya warga dunia bukannya tidak mau menerima orang Yahudi, tapi Zionist Israel sendiri akibat kekejaman dan arogansinya tak compatible dengan standar etika, norma dan hukum internasional yang diterima masyarakat saat ini. Jadi Israel sendiri yang menolak hidup dengan standar norma dan etika kemanusiaan yang diterima dunia. Yahudi Zionist  mendeklarasikan Israel tahun 1948, dan sebelumnya tidak ada yang namanya negara Israel dan komunias Muslim, Yahudi dan Nasrani hidup damai ribuan tahun.

Diskusi Hari Internasional Al Quds. (Foto:Fah)

Anda yakin betul Israel akan bubar dan Palestina akan menang sedang Israel didukung new world order yang dipimpin Amerika ?

Betul saya yakin, keyakinan saya ini bukannya tanpa dasar. Pertama, faktor internal Israel, baik politik maupun sosial. Secara politik, friksi partai politik semakin kuat, karena ketegangan dan ketidakpercayaan kebijakan politik dan militer Netanyahu. Berapa kali perintah perang dari Netanyahu ditolak dan digagalkan oleh militernya sendiri. Terakhir mencoba perang di Golan dan balasan perlawanan Syiria menghancurkan puluhan titik situs militer Israel di Golan Netanyahu buru-buru ke Moscow meminta Putin melobi Syria untuk tidak meneruskan perang. Kedua; Diskriminasi diantara warga yahudi Israel, terutama antara imigran Yahudi kulit hitam Afrika dan kulit putih Amerika-Eropa. Diskriminasi yang diperparah dengan kondisi ekonomi yang menyebabkan Yahudi dari Afrika mencari suaka ke Eropa, sama seperti imigran Syria dan Libya korban perang yang mencoba migrasi ke Eropa. Padahal kebijakan Rezim Israel mengundang seluruh orang Yahudi di berbagai belahan dunia untuk datang ke Israel. Statistik juga mencatat warga Israel yang keluar dari Israel dan kembali ke negara asalnya lebih banyak dibandingkan pendatang. Ketiga, kekuatan militer. Meski kelompok perlawanan Palestina masih jauh dibanding kekuatan militer Israel, namun kemenangan Hezbollah perang 2006 dan perang Gaza tahun 2008, militer Israel menyatakan kalah atau tujuan-tujuan militernya dalam perang tak terpenuhi. Saat ini  sepertinya ada kemajuan cukup pesat kelompok perlawanan Palestina dengan bantuan persenjataan dan teknologi dari Iran. Keempat; kesadaran publik dunia saat ini karena arus informasi yang lebih mudah menyaksikan kejahatan terbuka Israel dan ini yang paling penting. Dukungan penuh pemerintah Barat terhadap Israel digugat dan dikoreksi oleh warganya sendiri. Kelima; kesadaran kebangkitan Islam di dunia Islam terutama di Timur Tengah. Benar kebanyakan rezim di negara-negara Islam khususnya di Timur Tengah, rezim despostik yang menjadi client Barat, tapi tidak dengan kesadaran rakyatnya. Faktor-faktor inilah yang membuat saya yakin masa depan Israel sudah diujung tanduk. Mungkin kita kan menjadi generasi yang menjadi saksi sejarah runtuhnya rezim Israel, yang bisa berarti runtuhnya hegemoni new world order yang dipimpin Amerika saat ini.

BACA JUGA:  Gugatan Mega Makcik dan Gugatan Balik Elvi Sukaesih Di Tolak Majelis Hakim
Mujtahid Hashem – Founder VOP dan Valiollah Muhammadi Nasrabadi – Dubes Iran . (Foto:Fah)

 Melihat record Anda yang cukup panjang menjadi aktivis Palestina, apa harapan Anda terhadap menjamurnya dukungan publik di Indonesia terhadap Palestina ?

Pertama, tentunya kami senang dengan fenomena ini dan semoga terus terjaga. Jika fokus kepada masalah Palestine tentu bisa menjadi kekuatan determinasi yang luar biasa, jangan sampai isu-isu yang muncul ke permukaan seperti terorisme mengalihkan persoalan Palestina dan memicu keretakan ditubuh umat Islam. Karena jujur saya akui, meski persoalan Palestina adalah masalah kemanusian dan penindasan secara umum, tapi umat Islam yang jadi garda depan dan intensif mendukung kemerdekaan Palestina.

 

Pernyataan Sikap PB HMI dalam Diskusi Hari Internasional Al Quds

“Palestine Must Be Liberated”

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan” (Pembukaan UUD 1945)

Palestina adalah milik bangsa Palestina tanpa memandang suku, ras dan agama. Pernyatan ini adalah logika sederhana yang diterima segala bangsa di dunia. Ikatan natural manusia dengan tanah kelahirannya dijadikan dasar konvensi internasional bahwa setiap orang mempunyai hak kembali ke tanah kelahirannya (the right of return) dan tidak bisa digugurkan oleh keputusan apapun oleh lembaga apapun di muka bumi (A non-negotiable right). Itulah hak dasar manusia yang diakui oleh hukum humaniter internasional, juga dikuatkan oleh deklarasi PBB (UNGA Resolusi 194 tahun 1948, Resolusi UNSC 237, tahun 1967) dan itulah yang menjadi landasan jutaan rakyat Palestina yang terusir dari tanahnya untuk kembali ke kampungnya. Mereka menamakan aksinya the great march of return yang telah memakan korban ratusan orang dan menciderai ribuan orang Palestina.

Sebuah dunia yang aneh di zaman kita, semua konvensi Internasional ini tidak berlaku bagi bangsa Palestina, mereka dipaksa oleh kekuatan kolonialis internasional menerima penghinaan itu. Veto terakhir USA atas sikap PBB atas brutalitas Israel menjadi bukti eksistensi Israel di Palestina didukung kekuatan jahat kolonialis Barat.

Blokade darat, laut dan udara terhadap jutaan rakyat Palestina khususnya di Gaza adalah bentuk aksi perang (act of war) dimana rakyat Palestina dilarang untuk melawan meskipun rakyat Palestina mempunyai hak untuk melawan bahkan dengan senjata yang dijamin oleh hukum internasional (UNGA resolution37/43, 1982 removed any doubt or debate over the lawful entitlement of occupied people to resist occupying forces by any and all lawful means. The resolution reaffirmed “the legitimacy of the struggle of peoples for independence, territorial integrity, national unity and liberation from colonial and foreign domination and foreign occupation by all available means, including armed struggle”). Ketika mereka melawan justru steriotipe teroris disematkan oleh Barat bagi kelompok perlawanan bangsa Palestina dan mereka yang mendukungnya oleh negara-negara Barat adalah membuktikan klaim tersebut. Begitu juga dengan hak rakyat  Palestine untuk menentukan nasib sendiri yang juga dijamin oleh hukum humaniter internasional (the right of self determination) yang dijamin oleh konvensi internasional seperti The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), tapi dunia abai karena hegemoni sponsor utama Israel.

BACA JUGA:  UU LLAJ Sering Diuji di MK, Polri Masih Kompeten Urus SIM dan Regident

Pengakuan USA atas Jerusalem sebagai ibu kota Rezim Israel sebenarnya telah mematikan proposal two state solution untuk penyelesaian masalah Palestina. Sebuah proposal yang didorong diinisiasi oleh Amerika dan dihancurkan sendiri oleh Amerika dengan memindahkan Kedutaan USA ke Jerusalem Timur. Sebuah proposal yang sebenarnya tidak rasional dan dunia dipaksa mengikutinya dan akhirnya diakhiri sendiri. Proposal dua negara yang sudah menjadi mumi terus dipromosikan tak lain untuk memanipulasi orang Palestina dan publik dunia dengan harapan palsu.

Jumat terakhir bulan Ramadhan, hari ini, di Palestina dan ratusan kota diberbagai belahan dunia memperingati Internasional Quds Day, hari dimana solidaritas Internasional harus diperkuat untuk membebaskan Palestine dari Rezim Zionist Israel. Jika kekuatan arogan dunia bahu membahu mendukung kejahatan Israel maka kekuatan keadilan dunia (internasional axis of justice) harus memperkuat diterminasinya untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Hari al-Quds bukan hanya untuk Palestina saja namun hari dimana orang-orang tertindas (mustadl’afin) di seluruh dunia harus bersatu melawan penindas (mustakbirin).

 

Berikut Pernyataan Sikap PB HMI,

Bagi bangsa Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 maka dukungan terhadap Palestina dan menentang penjajahan Israel adalah national constitutional duty yang mengikat bukan hanya pemerintah dan lembaga negara namun seluruh rakyat Indonesia.

Negara wajib mendukung hak bangsa Palestine atas seluruh tanah yang diduduki oleh Rezim Zionist Israel. Lebih dari itu negara wajib mendukung dan memfasilitasi setiap inisitif rakyat Indonesia untuk mendukung kemerdekaan Palestina.

Setiap inisiatif yang mencoba membangun hubungan politik, ekonomi, dan budaya, baik yang dilakukan oleh institusi negara atau individu warga negara adalah pengkhiatan terhadap kontitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kami meminta kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk meninggalkan sikap politik luar negeri yang mengadopsi two state solution (solusi dua negara) sebagai cara penyelesaian masalah Palestina, karena kebijakan solusi dua negara pada dasarnya pengakuan atas eksistensi penjajahan Israel dan itu bertentangan dengan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kami menyerukan kepada seluruh bangsa Indoesia untuk bersatu dan memperkuat kerjasama untuk memerdekaan bangsa Palestina dari rezim Zionist Israel.

 

Berkenaan dengan malasah internasional yang saat ini berkembang:

Kami menyatakan bahwa apa yang terjadi dunia; konflik politik dan isu terorisme khususnya di Timur-Tengah khususnya di Lebanon, Mesir, Yaman, Irak dan Syria tidak bisa dipisahkan dengan masalah Palestina. Selama Israel sebagai kepanjangan West Old Colonialism masih ada di Palestina maka stabilitas dan keamanan dunia khususnya di Timur Tengah akan terus terancam.

Keputusan veto Amerika atas usulan resolusi terhadap Israel adalah model pengendalian imperialisme dimana hak eksklusif Veto anggota tetap Dewan Keamanan PBB harus ditolak oleh dunia dan keluarnya USA dari The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang di endorse oleh resolusi DK 2231 adalah pengkhianatan dari upaya mencapai stabilitas  keamanan dan politik dunia.

Mendukung sepenuhnya hak bangsa Palestina untuk kembali ke tanah airnya (the right of return), hak menetukan nasib sendiri (the right of self determination) dan hak untuk melawan penjajahan (the right of resistance) yang dijamin oleh deklarasi hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional lainnya.

Meminta kepada PBB untuk menyelenggarakan referendum bagi bangsa Palestina (Islam, Kristen, Yahudi) sebagai solusi untuk menentukan sendiri masa depannya. Jajak pendapat yang diikuti oleh rakyat Palestina adalah logika yang diakui dan disenangi oleh standar dunia saat ini.

Kami mendukung sepenuhnya aksi massa di Gaza maupun di tepi Barat “the great march to Al-Quds” sebagai upaya perlawwanan rakyat Palestine untuk mendapatkan hak-haknya.

Dengan melihat tatanan dunia yang absurd dimana kelompok arogan (Barat khususnya Amerika) bisa mengangkangi setiap perjanjian internasional dan bahkan menolak resolusi yang dibuat sendiri maka tidak ada jalan lain, perlawnan adalah satu-satunya jalan untuk memerdekaan bangsa Palestina dan kami PB HMI siap bekerjasma dengan setiap organisasi baik nasional maupun internasional dalam rangka membebaskan bangsa Palestina dari cengkeraman rezim Zionist Israel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *