Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI), kembali menggelar Webinar untuk keempat kalinya pada Jumat (15/10/2022). Acara yang bertemakan “Perlindungan Hukum bagi Pekerja Film” ini menghadirkan pembicara Kemalsyah Siregar (Pakar Hukum Perburuhan), Hadrah Daeng Ratu (Sutradara), Niniek L Karim (Artis Senior/Psikolog Sosial UI).
“Kini sudah saatnya para pekerja perfilman Indonesia memiliki acuan perlindungan hukum yang jelas, agar mereka memperoleh kepastian perlindungan hukum. Dengan kata lain, ada warning system,” ujar Kemalsyah Siregar.
Lelaki lulusan Fakuktas Hukum UI ini menjelaskan, dalam perlindungan hukum terhadap para pekerja film, ada dua aspek. Pertama perlindungan hukum yang terkait dengan hak kekayaan intelektual seperti hak cipta dan sebagainya. Sedangkan aspek kedua, perlindungan hukum terhadap diri para pekerja perfilman. Menurut Kemal, bidang keahlianya sebagai advokat, hanya terbatas pada perlindungan hukum perburuhan kepada para pekerja perfilman.
“Untuk yang pertama soal hak kekayaan intelektual, saya tidak mau atau tidak dapat memberi komentar karena hal itu di luar bidang saya,” papar Kemal.
Dilihat dari jenis pekerjaannya lanjut Kemal, sudah perlu diperhatikan adanya perjanjian kerja yang mengatur jam kerja ideal bagi pekerja film.
“Idealnya perjanjian kerja yang pas dan sesuai dituangkan dalam surat kontrak, waktunya hanya 7 jam sehari atau 40 jam untuk enam hari kerja,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan, kalau ada lembur harus sesuai dengan yang diatur oleh UU Perburuhan. “Minimal sesuai dengan peraturan setempat,” tandasnya.
Istilah setempat pun, dalam pandangan Kemal, harus ditafsirkan sesuai dengan keadaan kontrak awal, bukan semata dikaitkan dengan tempat lokasi pengambilan gambar semata.
Peran Penting Wartawan
Direktur Perfilman Musik dan Media Kemendikbud Ristek RI, Ahmad Mahendra menyampaikan dalam sambutannya, peran penting wartawan dalam perjalanan perfilman Indonesia.
“Wartawan film dan budaya di Indonesia adalah pilar utama dan mengambil peran sangat penting sebagai penguat ekosistem perfilman tanah air,” kata Mahendra.
Menurut Mahendra, sejarah telah membuktikan peran penting wartawan film dalam perjalanan panjang film Indonesia.
Ia juga menambahkan, berdasarkan pemahaman itulah dia menilai Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) sangat penting keberadaan dan keberlangsungannya.
“Karenanya, Direktorat Perfilman Musik dan Media Kemendikbud Ristek RI memberikan dukungan sepenuhnya atas terselenggaranya FFWI XII tahun 2022 ini,” papar Mahendra.
Mahendra juga menjelaskan bahwa tema ini sangat penting bagi perfilman nasional Indonesia. Oleh sebab itu dia mengusulkan agar tema ini dikembangkan untuk acara nasional.
Sedangkan, Niniek L Karim dalam pemaparanya menyampaikan beberapa hal, di antaranya soal jam kerja yang tidak sesuai dengan upah yang diterima. Bahkan ia mengangap hal itu seperti kerja rodi.
“Misalnya seorang figuran film, kerja dari subuh ke subuh lagi dan hanya dapat honor yang enggak semestinya, Ini kan kerja rodi,” ungkap Niniek.
Sementara Hadrah Daeng Ratu selaku Sutradara lebih menyoroti ke kontrak kerja. Dia mengungkapkan, kontrak kerja dalam perfilman nasional kebanyakan cuma ditandatangan chief atau pimpinan kelompok. “Itupun tidak semua kru tahu. Sementara di surat kontrak tertulis berlaku untuk semua kru,” kata Hadrah.
Berdasarkan pengalaman Hadrah, sering terjadi pembatalan sebuah produksi tanpa kompensasi apa-apa. Oleh sebab itu ia mengajak kepada para pekerja film untuk mengkampanyekan kesadaran kontrak.
“Harus dikampanyekan lagi kesadaran kontrak kerja antara kru dan rumah produksi,” ujar Hadrah .
Ia juga berpendapat, normalnya kru film bekerja tidak lebih dari 14 jam. Kalau bekerja lebih 20 jam kemungkinan besar berdampak banyak, misalnya ada sakit. Selain itu jika pulang larut malam, karena kecapean ada bahaya di jalan karena.
Selain itu Hadrah mengungkapkan, karena sering terjadi tidak tepat waktu sehingga jadwal syuting menjadi mundur. “Akibatnya merugikan para pekerja film,” pungkasnya.