Setidaknya sekarang ini telah ada dua pasang calon Presiden RI yakni Joko Widodo yang didukung oleh lima partai yang memiliki kursi di DPR RI, yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Nasdem, dan Partai Hanura. Sementara itu, Prabowo Subianto didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Gerindra. Masih ada tiga partai yang belum menentukan sikap, yaitu PKB, PAN, dan Partai Demokrat.
Banyak pihak menilai tidak menutup kemungkinan muncul poros ketiga yang akan dibentuk oleh ketiga partai tersebut. Seperti dikatakan Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa Lukman Edy, di Jakarta, beberapa hari lalu. Menurut dia, terbuka kemungkinan munculnya poros pasangan capres-cawapres ketiga yang dibentuk PKB, PAN, dan Demokrat.
Hal senada dikatakan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Didi Irawadi melihat tren dari berbagai survei yang menunjukkan elektabilitas Agus Harimurti Yudhoyono ada di posisi tertinggi sebagai calon cawapres. Dalam survei Poltracking, 27 Januari-3 Februari lalu, Agus bila dipasangkan dengan Jokowi memiliki elektabilitas rata-rata 13,9 persen dan jika dipasangkan dengan Prabowo, elektabilitasnya mencapai 15,85 persen.
Di sisi lain Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan mengatakan, pihaknya juga masih mengkaji semua kemungkinan, termasuk opsi membangun poros ketiga. “Kencenderungan kemana belum bisa disimpulkan. Semua masih dikaji,” jelasnya.
Seandainya Politik Bersih Tanpa Mahar
Melihat dinamika politik di Indonesia dewasa ini, banyak orang memperbincangkan tentang keharusan memberikan mahar bagi partai politik bila seseorang maju sebagai calon pemimpin daerah atau menjadi calon anggota legislatif.
Sepertinya ini sesuatu yang sulit dihindari. Hal itu menguat dalam diskusi yang diadakan Gerakan Kasih Indonesia (Gerkindo) bertema “Menciptakan Poitik Bersih Tanpa Mahar untuk Indonesia Sejahtera” di Gedung Joang 45, Menteng, jakarta (3/3) lalu.
Bibit Samad Rianto, mantan Wakil Ketua KPK yang tampil sebagai pembicara mengatakan, ada lima hal untuk mencegah calon kepala daerah tidak melakukan korupsi, yakni calon kepala daerah bisa berpotensi melakukan korupsi karena ternyata ada biaya yang mesti dikeluarkan untuk konstituennya.
Kedua, calon kepala daerah harus bisa menekan biaya kampanye semurah mungkin. Misal, tidak harus kampanye pawai di jalan. Ketiga, calon kepala daerah harus transparan dengan sumbangan kampanye yang masuk. Keempat, perlunya pendidikan politik ke masyarakat. Terakhir, negara seharusnya dapat membiayai sepenuhnya partai politik, sehingga tidak perlu ada mahar yang dikenakan kepada calon kepala daerah atau calon anggota legislatif.
Sementara itu narasumber lain Jerry Sumampaow mengatakan rasanya sulit sekarang ini untuk memberantas mahar, yang bisa dilakukan adalah menekan seminimal mungkin. Disinilah perlu peran partai politik dan calon sendiri.
Hal senada dikatakan Ahmad Rofiq, Sekjend Partai Perindo mengatakan, partainya selalu menerapkan asas keterbukaan dalam perekrutan calon legislatif atau calon pemimpin daerah. “Kami mencoba melihat seseorang dari sisi kemampuan, kapasitas, serta sejauhmana orang tersebut dikenal di wilayahnya. Jika sudah memenuhi kriteria tersebut, baru kami dukung,” ujarnya.
Pada bagi lain Yerry Tawaludjan, Ketua Umum Gerkindo mengingatkan agar para calon kepala daerah dan calon legislatif untuk mengedepankan kemampuan komunikasi politiknya dengan baik, bukan karena mengandalkan kemampuan finansial. “Cost politik memang ada, akan tetapi bukan mahar politik. Ini harus dibedakan,” seru Yerry.
Astaga, Ada 2.642 Aduan Ketidakbecusan Aparat Peradilan
Sepanjang 2017, ada 2.642 pengaduan dari masyarakat yang melaporkan aparat peradilan ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung. Dari laporan tersebut, hakim merupakan aparat lembaga peradilan yang paling banyak dijatuhi hukuman disiplin oleh Badan Pengawasan MA, yakni berjumlah 60 orang dari 156 pejabat peradilan. Sementara panitera pengganti sebanyak 21 orang dan 15 anggota staf peradilan.
Beberapa waktu lalu Ketua MA Hatta Ali pernah mengatakan, kalau memang tidak bisa dibina, ya, dibinasakan. Banyaknya hakim yang dijatuhi sanksi oleh Badan Pengawasan MA merupakan salah satu upaya pembersihan internal kepada hakim nakal yang mengganggu kinerja lembaga peradilan.
Menurut Kepala Badan Pengawasan MA Nugroho Setiadji, Badan Pengawasan MA tidak akan pernah mengendurkan pengawasan terhadap hakim dan aparat peradilan lainnya. Pembentukan tim khusus berangggotakan sejumlah aparat peradilan dan hakim tinggi pengawasan yang dilatih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Intelijen Negara (BIN) guna melakukan aksi-aksi penyamaran dinilai cukup efektif melihat langsung kondisi lapangan.
‘Tim kami bergerak rahasia dan menindaklanjuti setiap laporan yang masuk ke Badan Pengawasan MA. Laporan kami terima melalui cara manual dan langsung ke Badan Pengawasan, tetapi ada juga yang melalui aplikasi Siwas (Sistem Informasi Pengawasan) dan laporan dari satuan tugas kami yang turun ke lapangan,” jelas Nugroho.
Dari hasil 2.642 pengaduan yang masuk, 2.321 di antaranya ditindaklanjuti dan 321 aduan diarsipkan atau tidak ditindaklanjuti. Menariknya, mulai banyak laporan atau pengaduan melalui aplikasi Siwas. Tahun 2017, sebnayak 328 aduan disampaikan melalui Siwas, jumlah tersebut naik dibandingkan laporan serupa melalui pesan pendek atau aplikasi tahun 2016 yang hanya sekitar 100 laporan. (RN)